Cerita dari merbabu sebenarnya biasa saja, toh sama saja dengan pendakian-pendakian sebelumnya. Saya ke merbabu sudah berapa belas kali lupa, tapi tetap saja asik. Merbabu sudah seperti rumah sendiri bagi saya, begitu pun masih ada beberapa cerita yang tetap saja menarik dan baru. Seperti ketika saya di puncak merbabu, saya berpapasan dengan 3 orang pencari rumput yang nggak tahu kenapa kok nyari rumput sampai di puncak. Mereka adalah 3 orang tua yang entah dari mana dan ngapain karena saya juga nggak sempet tanya, karena trek yang kita lalui saat berpapasan adalah jalanan berpasir yang licin, beberapa meter sebelum puncak kentheng songo, yang tidak mungkin kita berhenti buat sekedar ngobrol-ngobrol karena buat berdiri pun rasanya susah. Anehnya, mereka sepertinya tidak bawa bekal sampai ke atas, dan tetap santai-santai saja dan tersenyum ketika saya sapa, sedangkan perjalanan dari desa ke puncak merbabu membutuhkan waktu kurang lebih 6-7 jam (setidaknya bagi saya dengan tidak memperhitungkan saya capek, ngeluh, makan, tidur, dan pipis). Apa nggak haus? Apa nggak lapar? Gimana kalau tiba-tiba jauth sakit? Kaki kram? Dll.. Bener-bener keren deh!
Kaki saya masih pegal, badan saya masih capek, tapi tadi seharian putar-putar buat ngurusin LPJ kegiatan kemarin. Nemenin sih, karena saya toh nggak ngerti. Yang pasti saya ngerti adalah UGM adalah universitas yang susah buat seputar LPJ. Menyusahkan sekali dan bikin pusing.
(angin)
di pikiran yang masih berada di merbabu, yang dingin dan bintangnya banyak kalau malam, dan sekali-sekali jatuh
Selo sekali saya membaca tulisan-tulisan lama, dan ketika membaca paragraf paling awal, saya menemukan diri saya menjadi takut denganmu wahai angin. Apa kamu sejenis psikopat atau sejenisnya? Hingga ketika bertemu dengan cewek-cewek baru lalu tiba-tiba melukainya..
BalasHapus_ombak_