Jogja adalah tujuanku pagi itu.
Membuang sampah, menyiapkan pakaian untuk dibawa ke laundry dan lalu mencari sarapan sebelum perjalananku ke kota gudeg itu. Semua beres, dan lalu bersiap berangkat, berjalan kaki tentunya. Dengan ditemani headset di telinga saya memulai perjalanan.
Melangkahkan kaki dan lalu melihat anak-anak SD di seberang rumah sedang kerja bakti membersihkan rumput di sekitar area luar sekolah. Jika melihat dari jumlahnya, sepertinya saya tebak hanya satu kelas yang melakukan kerja bakti itu. Melihat dari postur tubuhnya yang sedikit besar, sepertinya saya tebak mereka anak-anak kelas lima. Namun bagaimanapun juga, tebakan saya ini toh tidak penting benar atau tidaknya. Melihat kejadian ini mengingatkan saya kepada rumah saya yang bahkan seperti kapal yang terdampar ratusan tahun di samudera entah berantah. Eits, jangan salah,, saya sudah kerja bakti membereskannya, yah setidaknya tidak seperti ratusan tahun lagi, ya mungkin puluhan lah.. #eh
Tidak butuh waktu lama sudah ada angkutan kota yang menunggu di ujung jalan, hanya ada satu penumpang disana, tepat disebelah supir, seorang laki-laki separuh baya yang entah sejak kapan mereka terus mengobrol. Kemudian masuk seorang ibu-ibu yang membawa anaknya laki-laki. Mungkin usia anak itu sekitar 5 atau 6 tahun. Entah kenapa saya tertarik dengan anak itu, bagaimana tidak, masih sekecil itu tapi bakat gantengnya sudah terlihat. hahahaaa... #tamparpipi
Sampailah saya di jalan yang orang-orang biasa menyebutnya Milo. Mungkin karena ada papan iklan Milo sehingga disebut demikian, yang padahal sampai sekarang pun saya masih tidak bisa menemukannya. Di sana saya ganti angkutan jurusan. Baru saja saya menaruhkan pantat saya di kursi penumpang, sudah langsung dimintai biaya. Dia meminta Rp 4.000, saat saya memberikan uang tersebut sembari saya mengatakan, "biasanya 3,5". Namun mungkin karena suara saya yang terlalu lirih atau mungkin dia yang pura-pura tak mendengar, saya pun dicuekin saja. Sial...
Angkutan itu penuh sesak, dari luar saja sudah bisa dilihat seperti ikan dalam sarden yang ditumpuk-tumpuk. Tapi sudahlah, memang harus begini. Saat saya masuk yang sudah dalam, keadaan penuh sesak angkutan itu masih saja menunggu penumpang satu lagi, untuk menyempurnakan pepesan sarden mereka sepertinya.
Karena saya duduk di depan, saya jadi bisa melihat bahwa ada radio tape di angkutan itu. Tunggu, tidak ada tape, namun justru ada flashdisk yang menggantung disana. Canggih juga, bahkan mobil yang dimiliki keluarga saya saja radio-tape nya tidak disediakan port USB, canggih..
Namun lagu yang diputar adalah lagu-lagu yang entah berantah yang saya tidak tahu tipe musik apa, menurut saya lebih mirip seperti lagu-lagu yang biasa diputar untuk senam pagi hari minggu ibu-ibu komplek. Meskipun ada sedikit rasa untuk ikut senam namun saya urungkan dan penjarakan niat tersebut. Efek dari lagu tersebut sepertinya tidak hanya kepada saya, namun juga kepada si supir. Dia memainkan klaksonnya seiring dengan dentuman musik yang sedang diputarnya itu. ckckck..
Sampai di tempat bis patas mangkal, saya terburu-buru untuk turun karena saya melihat bis patas R sedang hampir berangkat. Saya menuju ke arahnya sambil berlari kecil, namun saya terlambat beberapa detik, dan saya pun ditinggalkan..
Tidak apa-apa, masih ada bis patas lain yaitu N. Saya pun membeli tiket ke agennya, lalu memastikan benar bis saya tidak salah. Karena saya pernah salah masuk bis sehingga saya diturunkan dengan sedikit semena-mena maka saya trauma untuk salah kedua kalinya. Lalu ketika saya sudah duduk di kursi, saya tiba-tiba ditanya seorang mas-mas, dia bertanya apakah itu benar bis N. Dan saya pun menjawab benar. Lalu dalam hati, jangan-jangan masnya tadi bertanya karena takut salah bis, oleh karena dia pernah melihat seorang mbak-mbak diturunkan karena salah naik bis. Aduh, sontak saya lalu menutupi wajah saya, takut jika mas-mas tersebut ingat wajah mbak-mbak tempo hari itu (baca: saya).
Di tengah perjalanan yang kira-kira kurang dari satu jam lagi, tiba-tiba bis itu terhenti. Entah apa sebabnya saya tidak tahu karena saya tidak berniat bertanya. Namun sejak dari tempat berhenti itu, AC bis tidak dinyalakan. Seperti terlihat dari luar bis patas AC, namun dari dalam angkutan umum kota penuh sesak dan pengap. Penumpang yang lain marah dan sempat meminta turun, namun digagalkan oleh kondekturnya. Yang lalu kemudian juga ada penumpang yang meminta uangnya sebagian dikembalikan. Namun lagi-lagi kondektur mengelak dan tidak mau memberikan. Hingga sampai di kota gudeg itu pun AC nya tetap tidak menyala.
Dan kemudian saya pun dijemput di Jombor.
(ombak)
yang sebenarnya tidak tahu harus menulis apa,
ternyata malah jadi sepanjang ini.